Aku keluar dari mimpi yang teramat gelap. Di sana hanya ada secuil aliran hasrat kehidupan. Tak tau berapa puluh tahun, windu maupun abad aku di sana. Hanya yang kuingat adalah aku diperintah untuk hidup.
Dimulilah hidupku itu, aku tak bosan merangkak menggapai sesuatu yang ada di dekatku. Aku belajar bersiul memanggil sesuatu yang tak pernah aku tahu keberadaanya. Aku berbicara hanya pada seseorang yang memegang kepalaku. Dia membasai rambutku dengan air lalu mengusap wajahku sambil bersenandung riang.
Waktu berjalan dan menggeserku dalam masa penuh impian. Nyanyian riang dari surga selalu memekakan kedua telingaku. Tak terasa aku ikut menyayi diatas bangku kayu berteduhkan langit berawan peluh itu. Aku bergandengan dengan nenek tua, berjalan melewati kubur diriku. Seolah mereka mengingatkanku tentang sesuatu yang mereka sedang yakini. Aku teringat akan seonggok tubuh pisang pun kalo ditanam akan hidup dan memenuhi takdirnya. Aku terdiam membisu dikala dihadapkan oleh kuburku sendiri. Aku disuruh memilih antara dua perkara yang tak satupun aku mengerti.
Roda waktu berputar mengitari matahari kehidupanku. Mataku memburam oleh cahaya itu. Aku mengusap mataku dengan peluhku sendiri. Matahariku menetap diatas kepalaku seolah memayungiku dengan panasnya. Aku tersentak dahaga dan mengarahkanku pada telaga hijau berisi sumber dari segala sumber. Aku tertegun melihat enam rasa yang disuguhkan padaku. Aku bawa rasa itu diatas bukit kebingunganku. Aku berteriak lantang dan yakin lalu diperlihatkan olehku betapa banyanya kehidupan di depanku. Mereka membuka mataku dari gelap mimpi ini. Aku disuruh belajar membaca diriku sendiri. Akan tetapi waktu membuatku terjaga dari ini semua. Semua hilang, menguap begitu saja. Namun tak selamanya pikirku mati tertutup kabut palsu. Pasti suatu saat aku berdiri dan bermandikan peluh diatas bukit mimpiku. Bercanda, bersenandung dan teringat apa yang membuat aku berada disini....
Dimulilah hidupku itu, aku tak bosan merangkak menggapai sesuatu yang ada di dekatku. Aku belajar bersiul memanggil sesuatu yang tak pernah aku tahu keberadaanya. Aku berbicara hanya pada seseorang yang memegang kepalaku. Dia membasai rambutku dengan air lalu mengusap wajahku sambil bersenandung riang.
Waktu berjalan dan menggeserku dalam masa penuh impian. Nyanyian riang dari surga selalu memekakan kedua telingaku. Tak terasa aku ikut menyayi diatas bangku kayu berteduhkan langit berawan peluh itu. Aku bergandengan dengan nenek tua, berjalan melewati kubur diriku. Seolah mereka mengingatkanku tentang sesuatu yang mereka sedang yakini. Aku teringat akan seonggok tubuh pisang pun kalo ditanam akan hidup dan memenuhi takdirnya. Aku terdiam membisu dikala dihadapkan oleh kuburku sendiri. Aku disuruh memilih antara dua perkara yang tak satupun aku mengerti.
Roda waktu berputar mengitari matahari kehidupanku. Mataku memburam oleh cahaya itu. Aku mengusap mataku dengan peluhku sendiri. Matahariku menetap diatas kepalaku seolah memayungiku dengan panasnya. Aku tersentak dahaga dan mengarahkanku pada telaga hijau berisi sumber dari segala sumber. Aku tertegun melihat enam rasa yang disuguhkan padaku. Aku bawa rasa itu diatas bukit kebingunganku. Aku berteriak lantang dan yakin lalu diperlihatkan olehku betapa banyanya kehidupan di depanku. Mereka membuka mataku dari gelap mimpi ini. Aku disuruh belajar membaca diriku sendiri. Akan tetapi waktu membuatku terjaga dari ini semua. Semua hilang, menguap begitu saja. Namun tak selamanya pikirku mati tertutup kabut palsu. Pasti suatu saat aku berdiri dan bermandikan peluh diatas bukit mimpiku. Bercanda, bersenandung dan teringat apa yang membuat aku berada disini....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar